Burung Di Kalimantan Selatan

Burung Di Kalimantan Selatan

- Burung rangkong termasuk hewan langka yang dilindungi. Di ekowisata Hutan Meranti, Kalimantan Selatan, burung ini terawat dengan baik.Burung langka dan dilindungi bisa kamu temukan di ekowisata Hutan Meranti, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Tidak hanya bertemu, bahkan kamu bisa berinteraksi langsung dengan burung eksotis Kalimantan dan aneka unggas lainnya di dalam kubah ukuran besar.Burung endemik Kalimantan yang terdapat di konservasi burung ini antara lain adalah burung Rangkong. Burung rangkong dikenal sebagai burung enggang. Dalam bahasa Inggris disebut juga dengan hornbill dikarenakan paruhnya memiliki cula layaknya tanduk sapi.Di Kalimantan, masyarakat Dayak menganggap burung rangkong dikeramatkan. Burung tersebut diyakini oleh Suku Dayak sebagai jelmaan dari panglima gunung yang sangat dihormati.Burung rangkong termasuk dalam spesies yang dilindungi. Terlebih, burung rangkong saat ini berada di ambang kepunahan. Maraknya perburuan liar, kerusakan hutan, alih fungsi hutan alami adalah faktor utama penyebab diambang punahnya hewan eksotis ini.Yang unik dari burung rangkong adalah, sekarang berperan dalam penyebaran benih pohon di hutan. Burung rangkong populasinya tersebar hampir di seluruh Pulau Kalimantan.Selain burung rangkong, terdapat juga burung beo di kawasan konservasi ini. Selayaknya burung rangkong, burung beo pun ternyata memiliki peran dalam penyebaran benih pohon dan tanaman di hutan.Burung bernama latin Gracula religiosa ini memiliki keistimewaan, sebab jika dilatih maka akan pandai menirukan ucapan manusia. Tidak heran burung ini banyak diburu untuk dijadikan hewan peliharaan.Namun tidak perlu khawatir, sebab burung rangkong dan beo di ekowisata Hutan Meranti sangat terlindungi dan terawat dengan baik. Secara rutin petugas akan menyediakan buah-buahan segar setiap harinya dan menjaga kondisi kandang tetap bersih.Di dalam kawasan konservasi terdapat skybridge, sehingga memudahkan pengunjung dalam berkeliling dan bisa berinteraksi langsung dengan aneka burung dan unggas yang ada.

Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

MUHAMMAD Suranto mengisi hari senggangnya dengan memikat—sebutan untuk kegiatan berburu burung. Warga Seronggga, Kecamatan Kelumpang Hilir, Kotabaru, Kalimantan Selatan, itu memikat sesekali di sela pekerjaannya, yang ia enggan sebutkan. Biasanya, ia mendapatkan burung cucak jenggot, cucak ranting, dan kolibri. Tapi, pada Senin, 5 Oktober 2020, dia memperoleh burung yang tak biasa. "Waktu itu belum terpikir burung apa. Saya pertama kali melihat burung seperti itu," katanya, Selasa, 6 April lalu, mengingat peristiwa enam bulan silam tersebut.

Burung yang ia dapatkan itu belakangan diidentifikasi sebagai pelanduk kalimantan, spesies yang hilang dari peredaran sejak pertama kali ditemukan ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner, pada 1840-an. Spesimen burung itu baru dideskripsikan oleh ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte, pada 1850. Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Haryoko, mengkonfirmasi bahwa temuan itu adalah burung yang terakhir kali terdengar kabarnya lebih dari 170 tahun lalu tersebut. "Sejak dideskripsikan, tidak ada yang melaporkannya lagi," ucapnya, Jumat, 9 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tri yakin yang ditemukan Suranto itu pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata). Ukurannya 15-16 sentimeter, memiliki mahkota berwarna cokelat yang dibatasi garis mata hitam lebar melintasi malar (tulang pipi) ke tengkuk dan leher. Bagian tubuh atasnya berwarna cokelat. Dadanya berkelir keabu-abuan dengan goresan halus putih dan ekornya pendek. "Ciri-ciri ini dikuatkan setelah dibandingkan dengan spesimen yang tersimpan di Naturalis Biodiversity Center, Leiden, Belanda," ujarnya.

Penemuan ini di luar perkiraan. Suranto mendapatkan burung itu saat memikat di daerah perbukitan Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, sekitar 30 menit perjalanan dari rumahnya. Pada waktu itu, dia menemukan setidaknya ada dua burung yang belum pernah ia lihat. Dia menangkap salah satunya dengan cara menjaringnya. Suranto tidak tahu nama burung itu meski ada sejumlah kemiripan suara dan bentuk dengan pelanduk lain.

Burung Pelanduk kalimantan (Malacocincla perspicillata)./Muhammad Suranto

Berdasarkan data LIPI, Indonesia memiliki sepuluh jenis pelanduk. Di antaranya pelanduk dada putih (Trichastoma rostratum), pelanduk ekor pendek (Malacocincla malaccensis), pelanduk merah (Trichastoma pyrrogenys), pelanduk semak (Malacocincla sepiaria), pelanduk sulawesi (Trichastoma celebence), dan pelanduk topi hitam (Pellorneum capistratum). Penasaran ingin mengetahui nama burung itu, Suranto lantas menghubungi orang yang diketahuinya sebagai pedagang burung, Muhammad Rizky Fauzan, pada 7 Oktober 2020. Ia juga mengirimkan foto-foto burung tersebut melalui pesan WhatsApp.

Fauzan, yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur, punya sejumlah koleksi burung. Meski lama menggeluti dunia burung, ia tidak bisa menjawab pertanyaan Suranto itu. "Saya mengira itu jenis burung baru," tuturnya saat dihubungi, Selasa, 6 April lalu. Tak bisa memberi jawaban yang memuaskan, Fauzan lantas bertanya kepada teman sekota yang dikenalnya sebagai pemerhati burung, Doddy Ferdiansyah. Doddy adalah perintis BW Galeatus, grup pemerhati burung di Facebook.

Doddy dan kawan-kawannya berbagi informasi dan berdiskusi tentang burung tersebut melalui laman Galeatus. Lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman itu juga banyak membaca literatur. Begitu melihat foto yang dikirim Fauzan, Doddy merasa seperti jatuh cinta. "Wah, jenis apa ini? Saya tidak pernah temui sebelumnya. Ini apa jenis baru?" katanya, Rabu, 7 April lalu, mengingat kesan pertamanya saat itu.

Tak yakin dengan apa yang dilihatnya, pada hari yang sama ia bertanya kepada pengelola BW Galeatus lain. Salah satunya Teguh Willy Nugroho, yang juga pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan di Balai Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. "Kami waktu itu cenderung menilai burung ini jenis baru karena deskripsinya tidak ada yang sesuai dengan literatur yang kami kumpulkan," ujar Teguh, Rabu, 7 April lalu.

Untuk mendapatkan pandangan alternatif, Teguh menghubungi rekan sekampus di Universitas Negeri Yogyakarta yang ia ketahui aktif di klub pencinta burung, Panji Gusti Akbar. "Ini mirip dengan pelanduk kalimantan yang sering dikutip beberapa jurnal dan buku," ucap Panji, Kamis, 8 April lalu, mengulang jawabannya sewaktu ditanyai Teguh. Panji mengenali kesamaan ciri burung dengan deskripsi Charles Lucien Bonaparte. Penulis buku Atlas Burung Indonesia ini juga bertanya kepada lima pengamat burung lain. Semua mengkonfirmasi pendapatnya.

Pendapat Panji ini meyakinkan Suranto, Fauzan, Doddy, dan Teguh. Mereka pun sepakat mempublikasikan temuan tersebut lewat jurnal. Pada 10 Oktober 2020, mereka mulai mengumpulkan informasi detail. Suranto diminta mengukur burung dengan penggaris. Suranto memberi tahu bahwa dia tak punya penggaris. "Kami semua ketawa. Masak, tidak ada penggaris," tutur Doddy, mengingat obrolan mereka saat itu.

Tak hilang akal, mereka meminta Suranto mencari koin, tapi itu juga tidak bisa didapatkan. Suranto lantas memakai botol minuman soda sebagai perbandingan. Namun, karena perbandingan itu dianggap tak cukup memadai, mereka menggunakan uang kertas Rp 5.000. "Akhirnya diketahui panjang burung berkisar 16-17 sentimeter," kata Doddy. Suranto juga diminta memotret burung dengan berbagai pose. Dalam salah satu foto, terlihat burung itu seperti dijepit dengan keras. Saat ditanyai mengenai hal itu, Suranto mengatakan, "Saya jepit pakai tangan."

Setelah data fisik terkumpul, sempat terjadi diskusi dalam tim mengenai burung itu, apakah tetap dipelihara atau dilepas ke alam. Menurut Teguh, ada yang berpendapat burung tersebut sebaiknya tetap dipelihara karena khawatir itu adalah yang terakhir. Ada pula yang menyarankan burung dilepas. Suranto memilih opsi kedua. "Burung saya lepas karena saya sempat mau merantau dan khawatir tidak ada yang merawatnya," ucap Suranto.

Foto perbandingan Pelanduk Kalimantan pada tahun 1840-an (kiri) dan yang baru ditemukan Muhammad Suranto (kanan)/Tempo

Sebulan kemudian, materi untuk jurnal kelar dan dikirim ke Birding Asia. Setelah melalui sejumlah koreksi, tulisan tentang penemuan itu dimuat dalam edisi 34, Desember 2020. Penulisnya Suranto, Fauzan, Doddy, Teguh, Panji, Joko Said Trisiyanto, dan Ding Li Yong. Joko adalah kolega Doddy di BW Galeatus, sementara Ding Li Yong berasal dari BirdLife International di Singapura. Menurut Panji, banyak komentar yang mereka terima seusai penerbitan itu. “Banyak ucapan selamat dan sepakat bahwa itu pelanduk kalimantan. Ada juga yang mengatakan pernah melihat burung serupa di belakang rumahnya,” tutur Panji.

Doddy menyebut temuan pelanduk kalimantan ini sebagai kabar gembira dan buruk sekaligus. Temuan itu adalah pertanda bahwa populasi burung tersebut cukup banyak. Tapi penemuan ini juga mungkin menjadi sinyal adanya masalah. "Mungkin habitatnya dirusak manusia sehingga akhirnya burung itu ditemukan," dia menambahkan.

Teguh mengungkapkan, dalam sebuah webinar, 2 Maret lalu, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Eksploitasia meminta diadakan kajian lebih lanjut mengenai habitat dan populasi burung langka ini. "Buat kajiannya, sebisa mungkin jadi tambahan untuk update agar burung itu dilindungi," ucap Teguh, menirukan pesan Indra.

Kebijakan tentang pelindungan satwa mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Kebijakan Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan ini memuat ketentuan bahwa satwa bisa masuk daftar dilindungi jika populasinya kecil, jumlahnya berkurang tajam di alam, serta memiliki daerah penyebaran yang terbatas (endemis). "Beberapa informasi dapat kita jadikan dasar rujukan untuk memasukkan burung pelanduk kalimantan sebagai spesies yang dilindungi," kata Indra Eksploitasia dalam siaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai temuan burung baru itu, Jumat, 2 April lalu.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 menyebutkan ada 904 jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Dalam daftar itu, pelanduk kalimantan tidak ada. Panji mengungkapkan, ia dan kawan-kawannya berencana membuat penelitian lanjutan. "Penelitian berikutnya ini diharapkan bisa membantu pemerintah mendapatkan data populasinya dan memberi rekomendasi perlunya burung ini dilindungi," ujarnya.

Foto Burung Di Kalimantan Utara

BURUNG RANGKONG YANG DIHORMATI DI KALIMANTAN

Tidak hanya di Hutan Kehje Sewen, Kalimantan Timur, yang menjadi rumah bagi burung rangkong yang luar biasa menarik itu, Tim pemantauan kami di Pulau Juq Kehje Swen, sekitar 10 kilometer dari hutan Kehje Sewen, juga menemukan burung rangkong bersarang di sana. Pulau Juq Kehje Swen adalah pulau berhutan seluas 82,84 hektar hasil kerja sama dan yang melibatkan BOS Foundation dan PT. Nusaraya Agro Sawit (NUSA). Pulau itu dimanfaatkan untuk menampung orangutan yang tengah menjalani tahap pra-pelepasliaran.

Burung rangkong, juga dikenal dengan nama enggang atau julang ini masuk dalam suku Bucerotidae. Nama ilmiah ‘buceros’ merujuk pada paruh yang bentuknya menyerupai tanduk sapi dalam bahasa Yunani. Cara termudah mengidentifikasi rangkong adalah dari paruhnya yang besar, bentuknya khas, dan warnanya mencolok. Ciri khas lain burung ini adalah tubuhnya besar, teriakan nyaring dan kepak sayap yang keras saat terbang melintas.

Saat sedang melakukan kegiatan mengamati orangutan, tim kami sempat menemukan beberapa jenis burung rangkong di pulau, yaitu rangkong badak (Buceros rhinoceros), kangkareng perut-putih (Anthracoceros albirostris), kangkareng hitam (Antracoceros malayanus), julang emas (Aceros undulatus), julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan enggang klihingan (Anorrhinus galeritus).

Burung rangkong tak hanya berperan penting menjaga  kualitasi ekosistem hutan, mereka juga terhubung erat dengan budaya Dayak. Bagi orang Dayak, rangkong adalah perlambang kesucian, kekuasaan, dan kekuatan. Ini tergambar jelas dalam seni tari tradisional Dayak yang banyak dihiasi oleh bulu burung rangkong.

Masyarakat Dayak juga percaya mereka bisa berkomunikasi dengan leluhur melalui perantaraan rangkong, dan bahwa roh pelindung Pulau Kalimantan berwujud rangkong raksasa legendaris yang dikenal sebagai Panglima Burung.

Burung besar ini memang tidak bisa dipisahkan dengan tradisi dan budaya masyarakat Dayak!